A Short Life Memory that sometime bring smile on me..
Banyak guru di negri ini tidak terdokumentasi pengabdiannya, karena mereka sejatinya jauh dari mencari publisitas. Kebahagiaan utama mereka adalah menjejakkan kaki berangkat dari rumah, seraya terbayang deretan lukisan wajah sumringah peserta didik yg haus ilmu dan penuh rasa penasaran sedang menanti di ruang kelas.
Entah bagaimana caranya, seorang guru menjadi aktor/aktris yg lihai dalam membagikan materi pelajaran. Ia kesampingkan beban urusan rumah tangga, kadang rasa jengkel krn tingkah-laku murid, serta kendala hidup lainnya demi memuaskan hasrat menimba ilmu calon generasi pemimpin bangsa.
Kebahagian yg tak kalah serunya adalah ketika mendapati siswa/i-nya menemukan panggilan hidup mereka & menapaki jalan untuk meraih mimpi dan cita yg sempat terkubur.
Mata terbelalak dan senyum yg menyeringai nampak dari wajah-wajah polos di saat mereka seakan mengerti dan menangkap satu atau dua kalimat bermakna luhur setelah 30-45 menit mulut sang guru berbusa mengoceh stand up teaching yg kadang dibumbui komedi garing dan dipaksakan untuk sekedar mengantisipasi jatah mengajar jam kritis (biasanya setelah maksi atau jam pelajaran terakhir, khususnya 10 menit sblum bel pulang sekolah), hahaha..
Saya selalu ingat ucapan mantan bos sebuah institusi pendidikan di kota Bekasi. Guru itu punya kemampuan untuk menutup pintu penjara dibelakang murid-muridnya atau sebaliknya, membuka pintu penjara di depan gerbang kehidupan mereka. Sejak saat itu ada niatan serius yg muncul untuk coba memberikan yg terbaik, lebih dari sekedar materi ajar (textbook).
Bukan sebuah kebetulan, sekolah menengah yg sempat saya singgahi selama 4 tahun menerima lebih dari 50% murid dari kalangan ekonomi miskin. Sehingga saya tahu persis tentang pintu penjara yang dimaksudkan oleh ibu bos kami itu, kebodohan dan kemiskinan.
Secara input siswa .. tingkat intelegensia, kerajinan, dan karakter peserta didik kami sangatlah jauh dari ideal. Demi idealisme yayasan, 2 anak autis sempat ikut belajar reguler walau diatur posisi mereka agar masing-masing berada di kelas yg berbeda. Hal itu benar-benar menjadi tantangan tersendiri untuk pengqjar dengan paradigma konvensional seperti saya juga.
Di masa awal heboh siswa yg harus mengulang krn tidak lulus UN, saya sebagai walas (wali kelas) mengalami menghadap ke orangtua murid utk menjelaskan juga pada si anak bahwa hal menyedihkan yg menimpanya itu bukanlah kiamat kecil dunia.
Belakangan saya mengerti mengapa banyak murid yang sulit fokus dan mengantuk di kelas, itu terjadi bukan karena mereka begadang bermain game atau medsos semata.. tapi khususnya di sekolah kami, untuk sarapan saja kadang mereka harus melewatkannya. Ada juga siswa yg ditemukan tidak baik penglihatannya krn kurang vitamin A, lengkaplah sudah kemalangan anak ini pikir kami.
Membangkitkan minat belajar adalah tantangan tersendiri, mengingat segala kekurangan yg membuat effort/usaha merekapun sering tidak mencapai standar minimal yg diminta/KKM. Krn saya bukan tipe pendidik dongkrak nilai otomatis, maka habislah waktu dipakai utk mendampingi mereka mengejar ketertinggalan di luar jam pelajaran sebagai konsekuensinya.
Sampai akhirnya, saya putuskan untuk cari cara agar mereka mau terbuka dan mengakrabkan diri, karena minat belajar yg tidak ditunjang fasilitas belajar oleh yayasan membuat KBM (KegiatanBelajarMengajar) mati kutu.
Ekstasi yang membangunkan kebanyakan siswa adalah bel istirahat. Ya, sederhananya.. untuk sebagian siswa/i kami, sekolah adalah tempat pelarian dari kehidupan keras di jalanan. Murid lelaki khususnya, akan berlarian sampai bermandi keringat untuk kembali ‘pingsan’ sambil menyebarkan aroma semerbak saat masuk kelas setelah bel selesai istirahat berbunyi.
Apa yang saya punya sangat sedikit untuk menarik minat mereka pada bidang studi Teknologi Informasi & Komunikasi (TIK) ditambah pengalaman psikologi pendidikan yang nihil sempat membuat saya stess selama 2 tahun awal pengabdian. Sisa 2 tahun berikutnya saya coba temani mereka di lapangan sambil bermain basket dengan biasa memilih anak-anak yg tidak akan dilirik di dalam grup yang lain. Pemikiran sederhana bahwa seorang murid dapat menyukai suatu pelajaran dimulai dengan menyukai sang pengajar.
Ya, awalnya hanya untuk mengakrabkan diri lewat hobi yg saya gemari sejak smp dulu. Namun karena tim dengan anggota terlemah seringkali menang, lambat laun itu menumbuhkan percaya diri anak-anak yg terpinggirkan, kok ada rasa haru-senang-bercampur aduk karena mereka tampak menikmati setiap momentum berhasil/menang ataupun gagal/kalah untuk tetap tersenyum.
Selain bermain jujur/ikut aturan, mereka belajar menerima hasil permainan yg tidak harus menang walau biasanya guru selalu benar/menang di kelas, nilai-nilai hidup universal yg membangun mulai tumbuh dan menular dari lapangan ke dalam ruang kelas.
Ya, di ruang kotak berisi 25-27 siswa itu, ada tantangan untuk membuka mata mereka melihat ke luar dan ke masa depan melampaui materi ajar yang kadang menjemukan krn terbatas fasilitas oleh yayasan. Namun saat jam istirahat atau pulang sekolah, inilah saat pendidikan hidup tentang kerjasama tim/strategi, menolong/menghargai/memotivasi anggota yang lemah, menikmati permainan, serta berjuang sampai saatnya pertandingan berakhir saya bisa bagikan tanpa mereka sadari.
Beberapa dari mereka masih menyapa lewat media sosial, kebanyakan sibuk dengan pergaulannya sendiri. Seperti kalimat pembukaan pada paragraf awal, tulisan ini bukan tentang publisitas.. hanya sebuah asa selepas tengah malam mengenang masa indah 4 tahun dengan para remaja belia di persimpangan hidupnya yg kala itu sedang berjuang meraba arah masa depan.
Sejujurnya, di sisi yg lain sy belajar sangat banyak dari mereka yg disebut murid. Beberapa di antara mereka mempunyai ide pemikiran dan potensi dahsyat utk anak remaja seusia mereka. Ya, ada banyak intan dan emas yg masih perlu dipoles sedang menanti proses hidup agar disemangati sang mentor.
Hooam, hari sudah berganti.. dan saatnya melanjutkan mimpi untuk esok yang pasti lebih baik 😀
Reminder for me as an ex.teacher.